Penerapan Konsep Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Ringan di Aceh
Kata Kunci:
Restorative Justice, Penyelesaian, Pidana Ringan di AcehAbstrak
Manusia yang melakukan suatu perbuatan menyimpang dari aturan hukum, maka dalam negara hukum orang tersebut harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya secara hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 271 ayat (1) UUD 1945 yang mewajibkan semua warga negara menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Sistem peradilan pidana khusus bagi anak tentunya memiliki tujuan khusus bagi kepentingan masa depan anak dan masyarakat yang di dalamnya terkandung prinsip-prinsip restorative justice, definisi restorative justice itu sendiri tidak seragam, sebab banyak variasi model dan bentuk yang berkembang dalam penerapannya. Bagaimana Pengaturan Hukum Tindak Pidana Ringan di Indonesia?Bagaimana Pelaksanaan Konsep Restorative Justice dalam Tindak Pidana Ringan? Sejauh mana efektivitas Konsep Restorative Justice dalam Tindak Pidana Ringan di Aceh? Pengaturan hukum tentang kejahatan ringan pada dasarnya telah diatur dalam KUHAP dan KUHP dan PERPU. bahkan dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak pidana Ringan dan jumlah denda dalam KUHAP. Pengaturan keadilan restoratif selama ini diatur SE Kapolri No. SE/8/VII/2018 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana; Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana; Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif; dan Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum MA RI No.1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif. Konsep penyelesaian Perkara di Aceh dilakukan oleh Ule Jurong, Tuha Peut, Keuchiek, Imam yang ada disetiap gampong. Dan jika tidak selesai di tingkat gampong naik ke tingkat Mukim. Yang Menjadi Hakim adalah Imeum Mukim. Sedangkan Dalam pelaksanaan sanksi adat sangat bervariatif, sesuai dengan kasus dan tingkatan kasus yang diselesaikan. dimana pelaksanaan sanksi adat akan segera dilaksanakan setelah putusan disampaikan oleh kepala gampong (Keuchik), terutama terhadap sanksi adat yang berupa nasehat, peringatan dan permintaan maaf. untuk sanksi ganti rugi pelaksanaan putusannya lebih longgar yaitu, tergantung kepada kemampuan ekonomi pelanggar untuk menyediakan ganti rugi tersebut. Demikian juga, dalam hal sanksi adat yang berupa pengusiran dari gampong, namun pelaksanaannya tidak dilakukan segera setelah putusan tersebut, melainkan, kepada pelanggar normat adat itu akan diberikan waktu secukupnya untuk bersiap siap meninggalkan gampong tersebut